Dec 30, 2005

Bisnis Sejak Kuliah

TIDAK ada jaminan, seorang sarjana akan mudah mendapatkan pekerjaan. Berbagai perusahaan semakin selektif menerima karyawan. Tingkat persaingan pun semakin tinggi. Ujung-ujungnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan malah menambah jumlah angka pengangguran. Memulai berwirausaha sejak mahasiswa adalah sebuah pilihan.

Semenjak krisis ekonomi beberapa tahun silam, banyak perusahaan yang mulai mengencangkan ikat pinggang. Meski solusi yang dilematis, pemutusan hubungan kerja (PHK) selalu terjadi setiap tahun. Kini, bukan hanya jebolan SD sampai SMA yang menjadi pengangguran, namun banyak juga yang berstatus sarjana. Pengentasan kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah, hingga saat ini.

Jika ditarik lebih dalam, tingginya angka pengangguran tersebut, juga berkaitan dengan paradigma kebanyakan mahasiswa yang berpikir untuk "bekerja pada orang lain". Setelah lulus, para mahasiswa lebih memusingkan untuk melamar bekerja di mana, daripada berpikir untuk membuka usaha sendiri. Pola pikir ini bukannya datang secara tiba-tiba. Sejak kecil, orang tua kerap menjejali pemikiran anaknya untuk bercita-cita sebagai pilot, misalnya, yang notabene bekerja pada orang lain, daripada menjadi pedagang.

Valentino Dinsi, SE, N.N., N.B.A., seorang praktisi bisnis, dalam bukunya yang berjudul "Jangan Mau Jadi Orang Gajian Seumur Hidup", menekankan bahwa tidak mengapa menjadi pegawai, namun jangan sampai seumur hidup. Kalau perlu, pensiun dini untuk mulai berwirausaha. Wirausaha merupakan solusi bagi mereka yang tidak ingin terlalu terikat oleh tata tertib dan waktu.

Merintis menjadi seorang wirausaha sejak mahasiswa, kenapa tidak? Apalagi jika ingin meraih kesuksesan di bidang finansial lebih cepat. "Seret" permodalan, bukanlah hambatan. Seperti yang diakui oleh Rynni Pong Tondok, alumni Fisip Unpar Jurusan Adminstrasi Niaga angkatan 2000, pemilik Butik "Kuyagaya". "Modal awal pakai duit sendiri, cuma Rp 300 ribu. Modal berani saja," cerita Rynni pada Kampus, saat didatangi ke butiknya di Jalan Sulanjana, Bandung, Sabtu (24/12).

Rynni memulai usahanya sejak masih kuliah, tepatnya pada tahun 2002. Hobinya berbelanja dari mulai baju, sepatu sampai aksesoris, membawanya pada keinginan untuk berbisnis. "Awalnya sih cuma ingin punya baju gratis saja. Jual baju ke teman-teman kan ada untungnya tuh. Lumayan kan, jadi dapat barang gratisan," ujar Rynni sambil tertawa.

Bersama rekannya, Tisca, Rynni memulainya dengan berjualan baju secara eceran di kampus. Menawar-nawarkan pada teman-teman di kelas sampai menggelarnya di parkiran, tak malu-malu dilakukannya. "Naik bajaj dan pulang pergi naik kereta Jakarta-Bandung, duduknya di emperan pula karena nggak dapat tempat duduk, sambil bawa barang di keresek ukuran paling besar ada empat buah, pernah kita lakukan," beber Rynni.

Rynni sama sekali tidak mendapat bantuan modal dari orang tuanya. "Kalau dapat modal, nanti gue keenakan, jadi nggak mau usaha. Kata nyokap, gue harus tahu pedihnya seperti apa," jelas Rynni. Meski harus memutar otak sendiri dalam urusan permodalan, Rynni pantang menyerah. Tadinya sekadar ingin dapat barang gratisan, Rynni mulai mengelola usahanya lebih serius.

Akhirnya, mereknya lambat laun mulai dikenal banyak orang, terutama sendal produksinya. "Pengalaman paling berkesan waktu ikut Bazaar Gadis di Jakarta. Kita bawa 300 pasang sandal, sampai-sampai kerepotan mengaturnya di kereta. Tapi tidak menyangka, kita pulang tinggal bawa 13 pasang. Hari itu dapat Rp 38 juta," cerita Rynni.

Bermula dari jual eceran, kini Rynni telah memiliki toko sendiri. Barang-barangnya pun sudah banyak dikirim ke luar Pulau Jawa. Meski merahasiakan omset yang diraihnya, Rynni mengungkapkan bahwa dirinya sudah bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lebih dari itu, perputaran uang yang diperolehnya sanggup membuat Rynni membuka satu usaha lagi, yaitu mendirikan sebuah cafe. "Modal saya adalah kerja keras," cetus Rynni.

Kisah Rynni yang membuka usaha dengan modal pas-pasan juga dialami oleh Dermawan Hadi, mahasiswa Teknik Sipil Itenas Jurusan Teknik Arsitektur angkatan 1999, pemilik Distribution Outlet (distro) "Jealousy". "Modal awal Rp 500 ribu, patungan sama teman saya. Waktu itu jadinya 1 lusin baju, lalu kita jual ke teman-teman di kampus," ungkap Dermawan, yang biasa dipanggil Ndo, pada Kampus.

Semenjak merintis tahun 2002 dengan menawar-nawarkan produk pada teman-teman dan menitip ke distro-distro lain, kini Ndo telah memiliki toko sendiri. Produknya pun telah sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Padang, Medan, dan Pontianak. Omzetnya telah menembus puluhan juta rupiah per bulan. "Ini untuk biaya kuliah juga, karena pada awalnya saya ingin sedikit memberikan kontribusi pada orang tua. Malu juga kalau minta uang terus," ujar Ndo yang tengah menunggu waktu kelulusannya.

Berwirausaha sebenarnya sama saja dengan menolong diri sendiri, karena menyediakan lapangan kerja bagi diri sendiri alias tidak bergantung pada orang lain. Bahkan jika usaha semakin maju, seorang wirausaha bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain. Untuk urusan ini, Ndo pun tidak sendiri dalam mengelola Jealousy, yang beralamat di Jalan Pelajar Pejuang 45, Bandung. Ia bekerja sama dengan 7 orang temannya.

Selain itu, lingkungan kampus yang kerap dikenal memiliki sumber SDM dengan intelektual tinggi dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat mahasiswa selayaknya mengembangkan kewirausahaan berbasis kompetensi bidang keilmuan yang ditekuninya. Hal ini penting untuk melahirkan berbagai inovasi. Hal tersebut juga diakui Ndo, yang menyukai bidang desain, sebagai awal ketertarikannya terjun dalam bisnis distro. "Ini sebagai bentuk pemanfaatan ilmu juga," katanya.

Jeli melihat pasar juga merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh para wirausahawan. Booming pemakaian telepon seluler, membuat Andrianto, alumnus STT Tekstil Jurusan Teknik Industri Tekstil angkatan 1999, memutuskan untuk membuka counter penjualan HP, pada tahun 2000. Setelah 5 tahun berjalan, Andrianto kemudian memilih untuk hanya menjual voucher pulsa. "Allhamdulillah sekarang sudah ada 3 counter," kata Andrianto, yang akrab dipanggil Andri.

Pendapat yang mengatakan bisnis dan hobi seringkali beriringan, memang ada benarnya. Selain berjualan voucher pulsa, Andri juga menjalankan bisnis yang bermula dari hobinya pada bidang fotografi. "Yang penting itu senang dulu, maka tidak akan terasa berat dalam menjalankannya," kata lelaki pemilik CV Aurapro yang melayani jasa pemotretan dan dokumentasi video ini.

Sama halnya dengan Andri yang bergerak di bidang dokumentasi visual, M. Iqbal El Hidayat--mahasiswa Fikom Unpad Jurusan Jurnalistik angktan 2001-- juga bergerak di bidang yang sama, dengan mendirikan Rumah Produksi "Kavlink 21". Berdiri sejak tahun 2001, Kavlink 21 awalnya bergerak di bidang film. Seiring perkembangan, Kavlink 21 pun melebarkan sayap ke bidang dokumentasi video, fotografi, dan company profile. "Awalnya karena saya melihat potensi dari bangkitnya film indie," kata Iqbal, Direktur Kavlink 21.

Meski sempat terseok-seok karena masalah dana, bahkan sempat vakum pada tahun 2003, maka mulai tahun 2005 ini Kavlink 21 berniat untuk bangkit kembali. Order pun mulai berdatangan. Bahkan, beberapa kali diundang menjadi pembicara dalam diskusi bidang film dan multimedia. "Dalam bidang film sendiri, kita sudah memiliki empat karya," ungkap Iqbal.

Salah satu film tersebut yang berjudul "Tunas-Tunas Dakwah" bahkan sudah diputar sampai ke UGM, Yogyakarta. "Film ini memang rencananya mau dikomersilkan, meski harus diedit ulang dahulu. Caranya, dengan dijual dalam bentuk VCD dan road show ke kampus-kampus," jelas Iqbal.

Selain road show, Iqbal juga merencanakan untuk membentuk komunitas-komunitas diskusi di kampus-kampus. Hal ini dilakukan bukannya tanpa tujuan. "Mahasiswa kan segmen utama kita. Jadi harus didekati," kata Iqbal lagi.

Iqbal mengakui, belum merasakan keuntungan material yang berarti dari bidang yang dijalaninya ini. Meski demikian, Iqbal dan teman-temannya tetap berkomitmen untuk membesarkan Kavlink 21. "Kita membangun dari nol, jadi tinggal usaha untuk membesarkannya saja. Meski profit masih sedikit, namun niat kita memang ingin meraih keuntungan lewat film," papar Iqbal.

Sama halnya dengan Iqbal, Imam Hidayah, pengelola Toko Buku dan Perpustakaan "Taman Bunga", Jatinangor, yang baru berdiri pada Mei 2005, juga tidak memedulikan keuntungan materi yang sedikit. "Untung dari jual buku kan kecil," cetus Imam yang juga mahasiswa Fikom Unpad Jurusan Ilmu Perpustakaan angkatan 2001 ini.

Meski demikian, Imam dan 7 orang temannya yang sama-sama mendirikan Taman Bunga tidak terlalu memedulikan hal tersebut. "Saya memang suka buku. Selain itu, di sini saya juga bisa bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang. Ada kesenangan tersendiri di situ," kata Imam.

Namun Imam tetap mempunyai perencanaan ke depan untuk mengembangkan usahanya. Imam berencana untuk membuka penerbitan, sebagai unit usaha lain, karena melihat masih banyaknya buku-buku teks berbahasa asing yang belum diterjemahkan. "Inginnya sih bisa membiayai kuliah dari usaha ini. Cuma kita saat ini memang masih merintis. Setidaknya, bisa makanlah dari sini," ujar Imam.

Cerita-cerita di atas merupakan potret mereka yang sudah terjun berwirausaha sejak di bangku kuliah. Berani dan optimis merupakan kuncinya. "Dulu mungkin anak-anak di Indonesia lebih 'diarahkan' untuk menjadi worker. Namun sekarang yang saya lihat, kecenderungan anak-anak muda di Indonesia untuk mulai berani berwirausaha sudah mulai muncul," demikian pendapat Iqbal.

"Banyak mimpi-mimpi untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan? Saya sendiri tidak pernah bermimpi bahwa besok ada revolusi atau KKN tiba-tiba jadi bersih, cuma setidaknya kita di sini telah melakukan sesuatu, meskipun kecil. Kita tidak diam saja," ungkap Imam.***

-------------
Sumber: Dewi Irma, "Bisnis Sejak Kuliah," Kampus, Pikiran Rakyat.


Mar 9, 2005

Jangan Manja

SEEKOR kura-kura berjalan lambat. Sesekali, kepalanya mendongak ke atas, ingin tahu apakah ada makhluk lain yang sedang memperhatikan dirinya. Si kura-kura nggak sekadar berjalan lambat. Di balik kelambatannya itu, si kura-kura ingin memamerkan keindahan rumah punggungnya, yang berkilat ditempa sinar matahari.

Hoi, jangan ngantuk dulu! Bukan dongeng kura-kura balapan sama kancil yang akan belia ceritakan pada rubrik chat edisi ini. Itu adalah sepenggal khayalan belia, ketika nama Kuya Gaya disebut. But, no. We’re not gonna talk about the sandals or shoes, or other accessories.

Belia akan bercerita tentang orang di balik semuanya. Si pekerja kerasnya. Please welcome, Rynni Pong Tondok.

Seharusnya Belia bisa kenalan dengan dua orang cewek sekaligus. Tapi sayangnya, hari Sabtu (5/3) kemarin, Tisca —another dynamic duo-nya Kuya Gaya— ada urusan mendadak ke Jakarta. “Iya. Si Tisca harus ke kawinan di Jakarta. Ngedadak banget. Baru kemarin berangkatnya,” kata Rynni sembari sibuk mengurus tokonya di bilangan Ciumbuleuit.

“Sembari ngobrol kan, bisa cerita juga tentang Tisca,” gitu jawab belia.

Obrolan yang sebenarnya baru dimulai ketika mobil Rynni meluncur meninggalkan Ciumbuleuit yang macet banget hari itu. “Kita mendingan ke Lombok aja, ya. Di sana tadi berantakan banget soalnya,” ujarnya. Sip, lah.

Konsentrasi boleh tetap ke jalanan. Tapi, cewek yang memulai usahanya di pertengahan Juni tahun 2002 lalu nggak sungkan untuk nyeritain perjuangannya merintis usaha. “Saya sebenernya dari SMA udah mulai jualan gitu ke temen-temen di sekolah. Jadi, saya beli baju-baju di Mangga Dua, terus ditawar-tawarin ke anak-anak. Lumayan, lah ternyata.”

Jualan Rynni di sekolah, ternyata keterusan sampai dia kuliah. “Tau nggak, waktu kuliah dulu, saya sempat jualan beha segala. Bawa katalognya ke kelas. Jadinya, jualan saya beredar dari depan ke belakang,” kenangnya.

Alumnus SMAK 1 BPK Penabur ini, menemukan partner bisnis yang sekaligus menjadi sohib beratnya pas kuliah. Kebayang, dong, dua orang cewek yang hobi banget belanja, ketemu dan tercetus sebuah ide untuk bikin toko. “Waktu itu, si Tisca punya kenalan orang yang punya tempat di depan kampus. Jadilah, kita bertiga bikin Kuya Gaya.”

Tiga orang ini akhirnya konsen di footwear. “Sandal, sih. Dulu makloonnya masih ke orang. Lama-kelamaan sandal ini jalan banget, sampai akhirnya saya punya tukang sendiri,” kata Rinny.

Sandal yang dimaksud Rynni adalah sandal model Birkenstock. Pembaca setia belia pasti tau dong, sandalnya kayak apa. Sudah pernah dibahas belia, soalnya. “Pas waktu itu, booming banget. Kayaknya semua orang di Unpar pake sandal itu, hehehe,” kenangnya.

Saking semangatnya merintis jadi juragan sandal, Rynni sampai rela ke sana kemari untuk tau soal peralatan dan perlengkapan untuk membuat sandal gaya ini. “Saya cari tahu sendiri mesinnya, bahan-bahannya, sampai tukangnya.”

“Gila, sandal tuh booming banget. Tapi sempat turun sih. Nah, pas lagi turun gitu, saya masukin sepatu. Sampai akhirnya, sepatu flat juga banyak yang beli. Februari kemarin saya keluarin sneakers. Strategi biar jualan saya tetap stabil,” ungkapnya.

Rynni bareng Tisca ini, sekarang udah punya dua toko. “Yang di Lombok, tempatnya emang kecil banget. Tapi lumayan, lah rame terus,” lanjutnya. Tokonya kini nggak hanya ada di Bandung. Kalau Belia main-main ke Makassar, pasti nemuin juga.

“Dulu saya sama Tisca sempat ditolakin sama toko-toko yang di Jakarta. Wah, kita berdua sampai mohon-mohon sama orang yang punya toko biar bisa masukin sandal. Perjuangan banget, lah sampai akhirnya bisa dapet respon yang bagus,” kata Rynni.

Kalau penjualan nggak pernah turun, mungkin Rynni dan Tisca nggak kepikiran untuk ekspansi sampai ke luar Jawa. “Kalimantan, Sulawesi, terakhir sih Lampung,” sebutnya.

Rynni bareng Tisca memang bukan tipe cewek yang manja. “Prinsip saya, apa-apa yang bisa dikerjakan sendiri, ya, ngapain minta tolong sama orang lain. Kerjain aja sendiri. Nggak ada deh, ngeluh-ngeluh kepanasan atau pas kena kotoran kita jadi males. Bayangin, saya sama Tisca pernah bawa sandal ratusan pasang ke Jakarta berdua doang. Naik kereta pula. Wah, itu kita boro-boro duduk. Yang ada tempat duduk keisi sama sandal, dan kita duduk di atas karungnya,” ceritanya sambil tertawa. Tuh, sekarang nggak zaman jadi cewek manja!

Rynni yang supersibuk ini, kerjaannya nggak hanya ngurusin tokonya bareng Tisca. “Saya juga kerja di tempat lain. Hehehe, di pabrik kayu gelondongan gitu. Ngurusin administrasi dan marketingnya,” ungkapnya.

Wuih, nggak heran kalau kemarin sebelum janjian ini, belia susah banget nemuin Rynni. “Waktu luang saya Cuma pas hari Sabtu aja. Itu juga biasanya di atas jam tujuh malem. Kalau siang-siang gini, masih ngurusin tukang sama pegawai, euy,” sahutnya. Yap, karena hanya pas weekend lowongnya, Rynni selalu menyempatkan waktu istirahatnya ini dengan kumpul bareng teman-temannya. “Biasa, paling ngopi. Kalau enggak ya, nonton gitu.” Hari Minggu lain lagi. “Seharian tidur di rumah. Tau sendiri, Lembang macetnya kayak apa kalau Minggu. Makanya, nggak pernah keluar,” lanjut Rynni.

Teman-teman menurut Rynni, adalah pembangun karakter dirinya sekarang. Cewek yang lahir dan gede di Bandung ini ngaku, teman-teman kuliahnya lah yang bikin dia merasa menghargai sesuatu yang dimilikinya. “Waktu SMA dulu, saya kayaknya bisa dengan gampang minta sesuatu tanpa tahu proses gimana cara ngedapetinnya. Pas kuliah, mata saya melek. Masih banyak orang yang kurang beruntung, tapi mereka bisa tetap bertahan hidup. Makanya, saya menerapkan prinsip kerja keras dan kejujuran dalam menjalankan usaha saya,” sebut Rynni. Kunci sukses Rynni memang dua sifat tadi!***

(Ditulis oleh tisha_belia@yahoo.com, pikiran rakyat)