Oct 13, 2008

Selimut Perca Cantik Kreasi Awit

Perca di pabrik kaos biasanya berakhir sebagai penghuni bak sampah. Namun dengan sedikit sentuhan, Awit Radiani (30) menyulap potongan kain sisa beragam ukuran itu bisa menjadi aneka produk yang berguna.

Dalam outlet ”Made In Jogja” yang terletak di Jalan Kaliurang Kilometer 5, Yogyakarta, Awit memajang kreasi kain percanya itu. Di gedung berlantai dua seluas 8 meter x 12 meter itu, warna-warni kain perca tersebut telah menjelma menjadi selimut, sprei, sarung bantal, taplak meja, hingga sarung telepon genggam yang empuk.

Sebagian besar produk Awit terbuat dari kain perca kaos yang bahannya ia peroleh dari pabrik kaos di Klaten, Jawa Tengah. Potongan-potongan kain itu ia sortir berdasarkan warna dan ukuran, sebelum disatukan dengan mesin jahit mengikuti pola dan motif yang ada.

Awit membuat sendiri pola produk-produknya. Motifnya merentang mulai dari gambar bintang yang ia sebut motif matahari, hingga gulungan ombak disebutnya motif tsunami. Ia mengaku memerlukan waktu hingga satu hari penuh untuk menemukan motif-motif tersebut. ”Saya biasa memasang kain-kain itu sesuai warnanya, lalu bolak balik dilepas kembali hingga menemukan bentuk yang paling sesuai. Sekarang tinggal mengikuti polanya saja,” katanya, saat ditemui di ruang kerjanya.

Pada setiap lembar kain baru yang telah disatukan, ia menambah bahan dakron sehingga kain itu menjadi lebih empuk dan hangat. Cocok sebagai selimut dan barang-barang yang berhubungan dengan tempat tidur.

Dari banyak jenis dan motif produk yang ia buat, selimut bermotif matahari paling digemari pembeli yang kebanyakan mahasiswa dan ibu rumah tangga. Untuk setiap selimut empuk berwarna cerah itu, ia memasang harga mulai dari Rp 135.000.

Berkah sakit

Perkenalan Awit dengan kain perca dimulai tahun 2001. Waktu itu, sulung dari empat bersaudara yang tidak bisa melanjutkan kuliah di jurusan tata busana Akademi Kesejahteraan Sosial ”AKK” Yogyakarta karena keterbatasan biaya ini membuka usaha jahit di rumahnya. Selain itu, ia juga dikontrak oleh sebuah perusahaan kaos untuk merancang kaos produksi mereka.

Di pabrik kaos itu, ia melihat banyak kain sisa yang dibiarkan terbuang sia-sia. ”Saya sering tanya itu (sisa kain) buat apa. Eh ternyata saya malah diberi kain sisa itu, satu karung banyaknya he-he-he,” kenang perempuan kelahiran Sleman, 6 Agustus 1978, ini.

Awalnya, Awit yang masih sibuk mengurus proyek desain kaos dan usaha jahitnya itu hanya membiarkan sisa-sisa kain itu teronggok di rumah. Hingga pada suatu hari ia terkena usus buntu, dan dipaksa untuk istirahat total selama sekitar dua bulan di rumah.

Di waktu istirahat itulah, Awit yang mengaku tidak bisa diam teringat pada kain percanya. ”Saya mulai iseng-iseng menyatukan kain-kain itu. Saya bikin motifnya, saya bongkar pasang berulang-ulang. Hingga akhirnya saya menemukan motif matahari,” tuturnya.

Kali pertama berhasil menciptakan motif, Awit sama sekali tak berniat menjual kreasinya. Begitu pun dengan beberapa motif berikutnya. Ia hanya memajang kain-kain itu di rumah, baik sebagai taplak meja, sprei, atau sekadar hiasan dinding.

Peruntungannya dimulai saat seorang teman yang berkunjung tertarik pada kreasinya, dan mulai memesan. Dari situlah ia mulai dikenal sebagai pembuat selimut dan aneka produk dari kain perca kaos. ”Saya juga mulai aktif ikut pameran-pameran produk. Selain itu, produk saya sering dibawa orang ke daerah lain sehingga pesanan datang dari mana-mana,” tambahnya.

Meski usaha kain percanya kian terkenal, Awit tidak meninggalkan usaha jahitnya. Dengan cara itu, ia bisa menghasilkan kain perca sendiri. Namun, seiring naiknya permintaan, ia kembali mengambil kain perca dari pabrik kaos tempat kerjanya dulu. Dalam sebulan, ia mengeluarkan biaya Rp 4 juta-Rp 5 juta untuk membeli empat ton kain perca sebagai bahan baku.

Manajemen

Melihat perkembangan usahanya, Awit menyadari bahwa ia perlu sistem manajemen yang lebih baik. Maka, mulai tahun 2006 ia merekrut karyawan yang khusus mengurus soal-soal di luar kegiatan produksi seperti sekretaris, administrasi, hingga keuangan. Dengan cara itu, ia tak perlu lagi mengurus semua hal sehingga bisa fokus memikirkan pengembangan usaha lainnya.

Awit yang mendapat omzet sekitar Rp 160 juta per bulan itu kini memiliki sekitar 50 karyawan. Kebanyakan karyawan adalah para perempuan yang tinggal di sekitar rumahnya, Desa Wedomartani, Ngemplak, Kabupaten Sleman, DIY. ”Para penjahit sekarang berbentuk kelompok. Mereka mengerjakan jahitan di rumah masing-masing, mesin jahitnya dari saya. Mereka tinggal datang mengambil bahan, dan menyetorkan ke rumah ketika pesanan sudah jadi,” kata Awit yang meraih ASEAN Youth Award 2008 di Vientiane, Laos, ini.

Dengan merek ”Seni Perca” untuk semua produknya, Awit kini memproduksi sekitar 3.000 barang per bulan, terdiri dari selimut hingga sarung telepon genggam. Pemasaran produk tersebut telah meluas mulai dari Jawa, Bali, Sumatera, hingga ke Malaysia, Jepang, dan Australia.

---------
(Ditulis oleh: Ida Saraswati, Kompas Minggu, 12 Oktober 2008)